Rabu, 30 April 2014

Politik Indonesiaku ^_^


Perkembangan Politik di Indonesia pada Awal Kemerdekaan

post by Nurul Dara Hardiyanti
30 April 2014 


BAB I
PENDAHULUAN
          Pada periode awal kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.


Pada dasarnya, perkembangan situasi politik dan kenegaraan Indonesia pada awal kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh pembentukan KNIP serta dikeluarkannya Maklumat Politik 3 November 1945 oleh wakil Presiden Moh. Hatta. Isi maklumat tersebut menekankan pentingnya kemunculan partai-partai politik di Indonesia. Partai politik harus muncul sebelum pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang dilangsungkan pada Januari 1946.
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Keragaman Ideologi Partai Politik di Indonesia
Maklumat Politik 3 November 1945, yang dikeluarkan oleh Moh. Hatta, hadir sebagai sebuah peraturan dari pemerintah Indonesia yang bertujuan mengakomodasi suara rakyat yang majemuk. Akibatnya, munculah partai-partai politik dengan berbagai ideologi. Partai-partai politik tersebut mempunyai arah dan metode pergerakan yang berbeda-beda.
Di antaranya adalah partai politik berhaluan nasionalis, yaitu PNI penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia, dan Gabungan Republik Indonesia yang berdiri pada 29 Januari 1946, dipimpin oleh Sidik Djojosukaro.
Kemunculan partai-partai berhaluan sosialis-komunis pada awalnya merupakan bentuk pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Namun, seiring perkembangannya, partai ini menerapkan cara revolusioner yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.
2.2. Hubungan antara KNIP dan Lembaga Pemerintahan
Dilatarbelakangi oleh berbagai situasi negara yang genting, seperti keadaan Jakarta di awal 1946, yang sangat rawan oleh teror dan intimidasi pihak asing , mengharuskan para petinggi bangsa untuk memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 untuk sementara waktu.
Pada dasarnya, posisi wewenang KNIP dikukuhkan melalui Maklumat X, 16 Oktober 1945, yang memberikan kuasa legislatif terhadap badan tersebut. Dengan maklumat itu, KNIP yang dibentuk pada 22 Agustus 1945, berposisi seperti layaknya Dewan Perwakilan Rakyat untuk sementara waktu sebelum dilaksanakannya pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya. Tugas Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) adalah membantu dan menjadi pengawas kinerja presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan. KNIP mempunyai kuasa untuk memberikan usulan kebijakan kepada presiden dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Sementara itu, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) bertugas untuk membantu dan mengawasi jalannya kinerja pemerintahan di tataran lebih rendah daripada presiden, seperti gubernur dan bupati.
2.3. Hubungan antara Keragaman Ideologi dan Pembentukan Lembaga Kepresidenan
Terdapatnya keragaman ideologi yang terbagi ke dalam golongan nasionalis, agama, dan sosialis-komunis pada era awal kemerdekaan ternyata mengandung implikasi yang signifikan terhadap struktur kepemimpinan negara. Perubahan otoritas KNIP dan munculnya berbagai partai politik di Indonesia menjadi dua katalisator utama terhadap perubahan struktur kekuasaan pemerintahan. Naiknya Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri Indonesia juga memiliki andil dalam perubahan itu.
Lembaga kepresidenan sendiri telah dibentuk pada 2 September 1945, pada kesempatan itu, Presiden Soekarno membentuk susunan kabinet sebagai pelaksana eksekutif dari lembaga kepresidenan Indonesia. Hal itu merupakan manifestasi dari penguatan lembaga kepresidenan untuk dapat melaksanakan tugas negara dengan optimal.
Susunan kabinet yang dibentuk pada 2 September 1945, pada dasarnya, mencerminkan komposisi yang mewakili keragaman ideologi di Indonesia. Meskipun partai-partai politik baru bermunculan, setelah dikeluarkannya Maklumat 3 November 1945, kondisi keragaman ideologi ini telah berperan besar dalam susunan lembaga kepresidenan negara.
2.4. Konfigurasi Politik Era Orde Lama 
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa :
1)      Gerakan separatis pada tahun 1957
2)      Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.
2.5. Konfigurasi Politik Era Orde Baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1)      Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2)      Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).
2.6. Partai Politik 
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
1)      Sarana komunikasi politik;
2)      Sosialisasi politik;
3)      Sarana rekruitmen politik;
4)      Pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda.
Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.
Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk :
a)      untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme),
b)      untuk mencerdaskan bangsa Indonesia,
c)      untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
  • Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa,
  • Pemerintahan Negara yang demokratis,
  • Menentukan Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing-masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:
1)      Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
2)      Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain:
v  pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib;
v  kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945;
v  dan ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara.
Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
2.6.1.   Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut : PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
2.6.2.   Partai Politik dalam Era Orde Baru 
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya.
Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya.
Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Pada periode awal kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Bahkan, banyak juga calon-calon independen yang tampil sendiri sebagai peserta pemilu 1955. Sistem multi partai terus dipraktikkan sampai awal periode Orde Baru sejak tahun 1966. Padal pemilu 1971, jumlah partai politik masih cukup banyak. Tetapi pada pemilu 1977, jumlah partai politik mulai dibatasi hanya tiga saja. Bahkan secara resmi yang disebut sebagai partai politik hanya dua saja, yaitu PPP dan PDI. Sedangkan Golkar tidak disebut sebagai partai politik, melainkan golongan karya saja.
3.2. Saran-Saran

Sebaiknya, sistem multipartai tetap dipertahankan dengan tetap memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik baru, namun perlu juga memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam berpolitik agar tidak terjadi penyimpangan terhadap wadah aspirasi rakyat tersebut.





Sejarah Perkembangan Sistem Politik Indonesia

Fungsi Lembaga Yudikatif dalam Menjalankan Sistem Politik Indonesia dari Masa Orde Lama Orde Baru sampai Masa Reformasi 
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Badan Yudikatif Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, kini dikenal adanya 3 badang yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan tersebut. Badan-badan itu adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Kekuasaan Negara yang absolute (mutlak) yahng menguasain seluruh bidang kehidupan negara sentalistik dalam satu kekuasaan akan melahhirkan hasil yang tidak efektif dan efisien bahkan cenderung menyimpang dari konstitusi dan peraturan yang berlaku. Untuk itu kenyataan ini mendorong para filosof untuk mencari solusi mengenai upaya distribusi kekuasaan agar merata dan tidak menumpuk pada satu orang atau institusi kekuasaan saja. Pemikiran yang dilahirkan oleh para filosof tersebut adalah salah satunya berupa teori Trias Politica.
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan negara perlu dilakukan pemisahan dalam 3 bagian yaitu kekuasaan Legislative ,Eksekutif dan yudikatif. Pemisahan ini ditujukan untuk menciptakan efekstivitas dan evisiensi serta transparansi pelaksanaan kekuasaan dalam negara sehingga tujuan nasional suatu negara dapat terwujud dengan maksimal.Khusus mengenai Yudikatif adalah fungsi untuk mengadili penyelewengan peraturan yang telah dibuat oleh legislative dan dilaksanakan oleh eksekutif. Dalam sejarahnya, Indonesia telah mengalami rotasi pergantian kekuasaan. Ini ditandai dengan adanya masa kekuasaan yang dikenal dengan 3 masa, yaitu masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Orde Reformasi. Disetiap masa memiliki ciri khas kekuasaan yang berbeda-beda. Dari perbedaan setiap masa, dapat dilihat cara dalam menerapkan kekuasaannya terhadap lembaga-lembaga yang terdapat pada masa itu. Kekuasaan Yudikatif mungkin juga berbeda perananya dalam setiap adanya 3 masa kekuasaan tersebut. Maka disini kami penulis menulis makalah dengan judul “ fungsi lembaga yudikatif dalam sistem politik Indonesia dari masa orde lama, orde baru sampai Reformasi” 
BAB II LANDASAN KONSEPTUAL
A. TEORI SISTEM POLITIK
Analisis Sistem Politik Menurut Almound
Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya). Almond menggunakan pendekatan perbandingan dalam menganalisa jenis sistem politik, yang mana harus melalui tiga tahap, yaitu:
  • Tahap mencari informasi tentang sobjek. Ahli ilmu politik memiliki perhatian yang fokus kepada sistem politik secara keseluruhan, termasuk bagian-bagian (unit-unit), seperti badan legislatif, birokrasi, partai, dan lembaga-lembaga politik lain.
  • Memilah-milah informasi yang didapat pada tahap satu berdasarkan klasifikasi tertentu. Dengan begitu dapat diketahui perbedaan suatu sistem politik yang satu dengan sistem politik yang lain.
  • Dengan menganalisa hasil pengklasifikasian itu dapat dilihat keteraturan (regularities) dan ubungan-hubungan di antara berbagai variabel dalam masing-masing sistem politik.
Menurut Almound sistem politik di bagi menjadi dua yaitu sistem politik otoriter tradisional dan sistem politik modern. Sistem politik tradisional, pembagian kerja tidak jelas, satu struktur bisa banyak fungsi. Sebaliknya sistem politik modern, pembagian kerja jelas dan spesialisasi.


Ciri sistem politk menurut Gabriel A. Almond
1. Semua sistem politik mempunyai sturukut politik
2. Semua sistem politik, baik yang modern maupun primitif, menjalankan fungsi yang sama walaupun frekuensinya berbeda yang disebabkan oleh perbedaan struktur. Kemudian sistem politik ini strukturnya dapat diperbandingkan, bagaimana fungsi fungsi dari sistem-sistem politik itu dijalankan dan bagaimana pula cara/gaya melaksanakannya.
3. Semua struktur politik mempunyai sifat multi-fungsional, betapapun terspesialisasinya sistem itu.
4. Semua sistem politik adalah merupakan sistem campuran apabila dipandang dari pengertian kebudayaan.

Menurut Almound faktor yang mempengaruhi kemampuan Sistem Politik meliputi 4 faktor
1. Elit Politik
- respon, tindakan, dan tujuan elit politik
2. Sumber Material
- materi, sarana, dan prasarana
3. Aparat organisasi
- Misalnya kinerja aparat birokrasi, anggota legislatif, yudikatif
4. Tingkat dukungan terhadap sistem politik
- Membayar pajak
- Kepatuhan lain
Kelembagaan politik dan sistem politik
Menurut Gabriel A Almond setidaknya ada 6 struktur atau lembaga politik dalam sistem politik yakni:
1. Kelompok Kepentingan
2. Parpol
3. Legislatif
4. Eksekutif
5. Yudikatif
6. Birokrasi
Namun demikian, kita juga dapat menempatkan kelembagaan dan kebijakan lain sebagai bagian dari struktur sistem politik, yakni (1) Militer dan (2) Politik luar negeri. Pendekatan struktural-fungsional memfokuskan perhatian kepada peran, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan elit-elit, kelompok, dan kelembagaan tersebut dalam sistem politik, baik pada proses input, konversi, output, hingga feedback.
Konsep Politik Almond
Keunggulan dan kelemahan pendekatan yang dikembangkan oleh Almound dan Easton. Keunggulan dari kedua ragam pendekatan yang dikembangkan oleh Easton dan Almond antara lain adalah:
  • Dalam membuat analisis politik, Easton dan Almond selalu peka akan kompleksitas antara sistem politik dengan sistem sosial yang lebih besar, yang mana sistem politik adalah sub-sistemnya.
  • Kesederhanaan pendekatan. Konsep ini dapat dipakai untuk menganalisis berbagai macam sistem politik, demokratis atau otoriter, tradisional atau modern, dan sebagainya. Konsep Easton dan Almon berasumsi bahwa semua sitem memproses komponen-komponen yang sama sehingga kedua pendekatan itu bermanfaat dalam upaya mencari metode analisis dan pembandingan sistem politik yang seragam.
  • Konsep yang diajukan oleh Almond memberi arahan untuk mencari data baru yang dapat meluaskan cakrawala perhatian ke masyarakat non-Barat dan non-”modern”.
  • Kelemahan dari konsep atau pendekatan yang dikembangkan oleh Easton dan Almond:
  • Analisis yang dikemukakan (baik sistem maupun struktural-fungsional) tidak memberikan rumusan yang terbukti secara empirik (tidak menghasilkan teori).
  • Tidak menjelaskan hubungan sebab-akibat. Kedua pendekatan itu lebih mentitikberatkan pada penjelasan analisis.
  • Analisis struktural-fungsional Almond memiliki masalah ketidakjelasan konsep tentang fungsi. Almond tidak menjelaskan garis-garis yang membatasi fungsi-fungsi dalam masyarakat politik.
  • Kedua pendekatan itu dikritik karena sangat dipengaruhi oleh ideologi demokrasi-liberal Barat. Terlihat jelas pada asumsi Almond yang mengatakan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sistem politik di Barat pasti juga ada di sistem non-Barat.
  • Kedua pendekatan itu juga dikritik kecenderungan ideologisnya karena cara memandang masyarakat yang terlalu organismik. Easton dan Almond menyamakan masyarakat dengan organisme, yang selalu terlibat dalam proses diferensiasi dan koordinasi. Selain itu mereka juga memandang masyarakat sebagai makhluk biologis yang selalu mencari keseimbangan dan keselarasan.
Lembaga Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan peradilan di mana kekuasaan ini menjaga undang-undang, peraturan-peraturan dan ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan menjatuhkan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum/undang-undang. Selain itu Yudikatif juga bertugas untuk memberikan keputusan dengan adil sengeketa-sengketa sipil yang diajukan ke pengadilan untuk diputuskan.1 Badan Yudikatif dalam Negara-negara Demokratis
Common Law
Terdapat di negara-negara Anglo Saxon dan memulai pertumbuhan di Inggris pada Abad Pertengahan. Sistem ini berdasarkan prinsip bahwa di samping undang-undang yang dibuat oleh parlemen (yang dinamakan statue law) masih terdapat peraturan-peraturan lain yang merupakan common law, yaitu kumpulan keputusan yang dalam zaman lalu telah dirumuskan oleh hakim. Di negara-negara dengan sistem common law, tidak ada suatu sistem huukum yang telah dibukukan (dikodifisir). Dalam hal ini common law mirip dengan sistem Hukum Perdata Adat tak tertulis.
Civil Law
Terdapat banyak di Negara Eropa Barat Kontinental. Dalam sistem ini, hukum telah lama tersusun rapi, dengan kata lain penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim adalah tidak mungkin. Hakim hanya mengadili perkara berdasarkan hukum yang termuat dalam kodifikasi saja. Di negara federal kedudukan badan yudikatif, terutama pengadilan federal, mendapat kedudukan yang lebih istimewa daripada negara kesatuan karena biasanya mendapat tugas menyelsaikan persoalan-persoalan konstitusional yang telah timbul antara negara federal dengan Negara bagian, atau antarnegara-negara bagian. Sedangkan persoalan seperti itu tidak ditemukan di ngara kesatuan.
BAB III PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM POLITIK INDONESIA
A. Perkembangan Sistem Politik dari Masa Orde Lama sampai Masa Reformasi
1. Orde Lama ( Demokrasi Parlementer )
Era 1950-1959 adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959 Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan "sementara", karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut.
Sistem Pemerintahan Parlementer
Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
A. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
B. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP – KNIP Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.
Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:
a. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c. Presiden berhak membubarkan DPR.
d. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
Orde Lama ( Demokrasi Terpimpin )
Demokrasi terpimpin selalu diasosiasikan dengan kepemimpinan Sukarno yang otoriter. Hal itu berawal dari gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959 yang akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu dikeluarkan dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin. Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.
Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.
Semua lembaga yang pernah ada dibubarkan oleh Presiden dan diganti dengan orang-orang pilihan Presiden sendiri. Presiden Soekarno mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup, berkembangnya ideologi NASAKOM, dan Indonesia keluar dari organisasi dunia yaitu PBB. Sebagai akhir dari masa demokrasi terpimpin adalah dengan adanya pemberontakan PKI pada tahun 1965.
2. Orde Baru
Pada saat orde baru suharto menjabat sebagai Presiden ditandai dengan adanya Supersemar. Saat orde baru pemerintah ORBA bertekat untuk menjalankan UUD 1945 dan pancasila secara murni dan konsekuwen. Pada saat orde baru mEenggunakan sistem demokrasi pancasila yang di bawah kepemimpinan Suharto dan menganut sistem presidensial. Pada saat kepemimpinan Suharto begitu kuatnya kepemimpinan atau kekuasaan presiden dalam menopang dan mengatur seluruh proses politik, dan itu semua mengakibatkan terjadinya sentralistik kekuasaan pada presiden.
Akibat dari kuatnya kekuasaan Presiden atas pemerintahan maka indikator dari demokrasi tidak terlaksana, yaitu rotasi kekuasaan eksekutif tidak ada, rekruitmen politik di batasi, KKN merajalela. Kepemimpinan suharto banyak sekali diwarnai dengan adanya lobi politik yang tidak sehat. Maka dapat disimpulkan bahwa memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal. Kemacetan yang dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa pada akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di DPR/MPR tak lagi bisa menampung aspirasi rakyat.
Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis. Setelah masyarkat indonesia bosan tentang sistem politik yang dijalankan pada saat ORBA maka puncaknya atas tuntutan seluruh masa ( dimotori oleh Mahasiswa maka tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh Wapres Prof.B.J Habibi. 
3. ORDE REFORMASI
Setelah masa ORBA telah runtuh maka kemudian munculah masa reformasi, pada saat masa reformasi masih menggunakan demokrasi pancasila dan menganut sitem pemerintahan presidensial. Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
Saat masa reformasi kemerdekaan dan kebebasan pers sebagai media komunikasi politik yang efektif di sahkan, tidak seperti pada saat ORBA yang diliput pers hanya kebaikannya pemerintah saja yang diberitakan.
Dalam era reformasi ini upaya untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam kegiatan pemerintah semakin terbuka, sehingga sosialisasi politik pun berjalan dengan baik. Pemerintahan era reformasi merupakan awal untuk menjadi negara yang demokratis, yang sesuai dengan Amandemen UUD 1945 untuk mengatur kekuasaan dalam negara agar lebih demokratis.
Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tidak aneh. Salah satu manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai, sesuatu yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak pengekangan itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila.
Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah. Apakah mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat menentukan karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan sifat-sifat distrik dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai harus memiliki orang-orang yang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan partainya kehadapan masyarakat.
Jika pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional. Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai akan terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR tingkat daerah atau pusat.
BAB IV PEMBAHASAN DINAMIKA PERKEMBANGAN YUDIKATIF DARI ORDE LAMA SAMPAI REFORMASI
1. Perkembangan Kekuasaan Yudikatif dari Masa Orde Lama sampai Reformasi
  • Orde Lama ( Masa Demokrasi Terpimpin )
Pada masa demokrasi terpimpin telah terjadi penyelewengan – penyelewengan terhadap asas kebebasan badan yudikatif seperti yang ditetapkan oleh undang – undang dasar 1945 yaitu dengan dikeluarkannya Undang – Undang No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang dalam pasal 19 undang – undang itu dinyatakan : Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa ata kepentingan masyarakat yang mendesak, presiden dapat ikut turut campur tangan dalam soal pengadilan. Di dalam penjelasan umum undang undang itu dinyatakan bahwa trias politika tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional Indonesia karena kita berada dalam revolusi, dan dikatakan selanjutnya bahwa pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang – undang. Nyatalah disini bahwa isi undang – undang itu bertentangan sekali dengan isi dan jiwa undang – undang dasar 1945. Oleh karena itu tepatlah bahwa MPRS sebagai lembaga negara tertinggi dalam sidangnya yang ke-4 antara lain telah mengeluarkan ketetapan MPRS No.XIX Tahun 1966, tentang peninjauan kembali produk - produk legislatif negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan undang – undang dasar 1945.sesuai dengan asas kebebasan badan yudikatif seperti tercantum dalam undang – undang No. 14 Tahun 1970 pasal 4 ayat 3 menentukan bahwa “ segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak – pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal tersebut dalam undang – undang dasar.
Pada masa Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif (Presiden) dan Menteri Kehakiman, yudikatif (MA) dan legislatif (DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung, sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) KRIS ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran DPR dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan. Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa Orde Lama meski melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).
Salah satu penyimpangan dan politisasi dalam pemilihan Hakim Agung yang sekaligus memperlihatkan begitu berkuasanya eksekutif (Kepala Negara) saat itu adalah dengan diangkat dan ditetapkannya Ketua MA sebagai penasehat hukum Presiden dengan pangkat Menteri berdasarkan Per. Pres. 4/1962, LN 38). Meskipun Ketua MA pada saat itu berkilah bahwa ia tidak akan menjadi pejabat eksekutif dan menjadi alat dari pemerintah, namun dalam kenyataannya MA telah kehilangan kebebasannya dan kemandiriannya.
  • Orde Baru
Diharapkan bahwa dengan adanya wewenang judical review ini, dijamin tidak terulang kembali penyelewengan – penyelewengan yang dilakukan oleh Ir. Soekarno pada masa demokrasi terpimpin. Akan tetapi rupanya pemerintah berpendapat lain, seperti terbukti dari undang – undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang menggantikan Undang – Undang No.19 Tahun 1964. Melihat pasal 26 Undang – Undang No. 14 Tahun 1970 yang mengatur hak mahkamah agung untuk menguji dan menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang – undang, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pedoman kita dalam hal ini adalah sesuai dengan pasal 130 Undang undang dasar RIS dan pasal 95 Undang – Undang Dasar Sementara 1950 bahwa “ Undang – Undang tidak dapat di ganggu gugat”. Berarti hanya Undang – Undang Dasar dan Ketetapan MPR(S) yang dapat memberi ketentuan apakah Mahkamah Agung berhak menguji undang – undang atau tidak. Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang Undang dasar 1945 dan dalam ketetapan MPR(S) yang dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari hubungan hukum antara alat perlengkapan Negara yang ada dalam negara, berarti bahwa undang – undang ini ( undang – undang pokok ketentuan kehakiman ) tidak dapat memberikan kepada mahkamah agung kewenangan hak menguji, apalagi secara materiil undang – undang terhadap undang – undang dasar. Hanya undang – undang dasar ataupun ketetapan MPR(S) yang dapat memberikan ketentuan.
Pemilihan anggota Yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahdep. Status Ketua Mahkamah Agung sudah tidak menjadi menteri. Hakim agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak jelas. Adanya indikasi praktek droping nama dengan cara hakim agung biasanya akan memberikan usulan nama kepada ketua Mahkamah Agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar. Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan sebagainya yang mengakibatkan pemelihan dilakuakan tidak secara objektif. Beberapa hakim yang ada yang memiliki hubungan satu samalain, misalnya memiliki latar belakang sosial atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali mempengaruhi proses penentuan daftar nama yang dususun ketua Mahkamah Agung. Adanya Indikasi praktik-praktik suap sengan cara memberikan hadiah atau membayar sejumlah uang yang dilakuarkan oleh seseorang yang ingin dicalonkan. dalam prakteknya yudikatif masih didominasi oleh eksekutif, dibuktikan dengan setiap mempresentasikan calon hakim harus disertai memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Sehingga dalam prakteknya pun masih didominasi eksekutif. Kekuasaan yudikatif tidak bisa memeriksa eksekutif, masalnya kasus – kasus yang menyangkut presiden, prakteknya presiden diatas lembaga yudikatif. Adanya asas judicial review, sekalipun diakui adanya hak menguji untuk aturan yang lebih rendah dari UU (Pasal 26 UU Nomor 14 Tahun 1970). 
  • Masa Reformasi
Kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001, mengenai bab kekuasaan kehakiman BAB IX memuat beberapa perubahan ( Pasal 24A, 24B, 24C ) amandemen menyebutkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terdiri atas Mahkamah agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah agung bertugas untuk menguji peraturan perundangan dibawah UU terhadap UU. Sedangkan Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD45.
a. Mahkamah Konstitusi (MK)
berwenang untuk :
1). mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk :
• menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (Judicial Review)
• memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara
• memutuskan pembubaran partai politk
• memutuskan perselisihan tentang pemilihan umum
2). Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadp Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
b. Mahkamah Agung (MA)
Kewenangannya adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada dilingkunan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha Negara. MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi. Calon hakim diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung, Hakim agung dipilih berdasarkan kualitasnya. Keputusan mahkamah agung terlepas dari kekuasaan eksekutif. Mahkamah agung bisa Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela. kedudukan yudikatif, eksekutif, legislatif sama, jadi peran yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh eksekutif atau legislatif, yudikatif berdiri sendiri.
PERAN LEMBAGA YUDIKATIF DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA
MENURUT  (GABRIEL ALMOND)
  • Rekruitmen politik: pemilihan anggota lembaga yudikatif dilakukan oleh eksekutif secara langsung, dan status ketua Mahkamah Agung diberi status menteri.
  • Sosialisasi politik: didominasi oleh eksekutif karena, ketua mahkamah Agung menjadi bagian dari eksekutif, dan pengadilan pun juga tidak terlepas dari kekuasaan eksekutif.
  • Komunikasi politik: didominasi oleh Presiden, karena presiden dapat ikut campur tangan, juga kekuasaan yudikatif tidak bebas dari kekuasaan eksekutif
  • Rekruitmen politik: pemilihan anggota Yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahdep. Status Ketua Mahkamah Agung sudah tidak menjadi menteri. Hakim agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak jelas. Adanya indikasi praktek droping nama dengan cara hakim agung biasanya akan memberikan usulan nama kepada ketua Mahkamah Agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar. Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan sebagainya yang mengakibatkan pemelihan dilakuakan tidak secara objektif. Beberapa hakim yang ada yang memiliki hubungan satu samalain, misalnya memiliki latar belakang sosial atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali mempengaruhi proses penentuan daftar nama yang dususun ketua Mahkamah Agung. Adanya Indikasi praktik-praktik suap sengan cara memberikan hadiah atau membeyar sejumlah uang yang dilakuakan oleh seseorang yang ingin dicalonkan.
  • Sosialisasi politik: dalam prakteknya yudikatif masih didominasi oleh eksekutif, dibuktikan dengan setiap mempresentasikan calon hakim harus disertai memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Sehingga dalam prakteknya pun masih didominasi eksekutif.
  • Komunikasi politik: kekuasaan yudikatif tidak bisa memeriksa eksekutif, masalnya kasus – kasus yang menyangkut presiden, prakteknya presiden diatas lembaga yudikatif. 
  • Adanya asas judicial review, sekalipun diakui adanya hak menguji untuk aturan yang lebih rendah dari UU (Pasal 26 UU Nomor 14 Tahun 1970). • Rekruitmen politik: penetapan calon hakim dilakukan oleh Ahkamah Agung, hakim agung dipilih berdasarkan kualitasnya.
  • Sosialisasi politik: keputusan mahkamah agung terlepas dari kekuasaan eksekutif. Mahkamah agung bisa Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
  • Komunikasi politik: kedudukan yudikatif, eksekutif, legislatif sama, jadi peran yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh eksekutif atau legislatif, yudikatif berdiri sendiri




Rabu, 30 April 2014

Sejarah Partai Politik di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
Partai politik lahir di negara-negara Eropa Barat bersamaan dengan gagasan bahwa rakyat merupakan fakta yang menentukan dalam proses politik. Dalam hal ini partai politik berperan sebagai penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di lain pihak. Maka dalam perkembangannya kemudian partai politik dianggap sebagai menifestasi dari suatu sistem politik yang demokratis, yang mewakili aspirasi rakyat.
            Pada permulaannya peranan partai politik di negara-negara Barat bersifat elitis dan aristokratis, dalam arti terutama mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan tersebut meluas dan berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, partai politik mempengaruhi dan berkembang di negara-negara baru, yaitu di Asia dan Afrika. Partai politik di negara-negara jajahan sering berperan sebagai pemersatu aspirasi rakyat dan penggerak ke arah persatuan nasional yang bertujuan mencapai kemerdekaan. Hal ini terjadi di Indonesia serta India.
            Di sini penulis di percayakan dari dosen pengampu untuk membahas sekelumit pembahasan yang berjudul “Sejarah Partai Politik di Indonesia”. Menyajikannya dalam bentuk makalah yang insya Allah akan menjadi materi diskusi di kelas nantinya.
BAB II
PEMBAHASAN
           Pentingnya sejarah partai politik penulis uraikan pada tulisan ini, sebagai pertimbangan bahwa sejarah pada hakekatnya mengungkap berbagai peristiwa besar pada masa lalu, agar dapat di jadikan bahan penunjang dan pembanding kenyataan di era saat ini dalam proses ke era yang akan datang. Orang pandai sering berkata bahwa hari ini adalah produk hari kemarin dan yang akan mempengaruhi hari esok. Demikian juga halnya dengan sejarah Partai politik di Indonesia merupakan produk masa lalu yang perlu di ungkap dan di kaji kembali agar dapat di manfaatkan dalam menyikapi perkembangan partai politik di Indonesia, baik pada era saat ini dan terlebih lagi di era yang akan datang.
Me-review tentang sejarah parpol di Indonesia dari sejak dulu kala hingga saat sekarang memang penuh liku-liku dan menarik. Tapi yang jelas, sejarah parpol di Indonesia sangat panjang dan menarik untuk kita telusuri. Sejarah kemunculan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa periode perkembangan, dengan setiap masa waktu mempunyai ciri dan tujuan masing-masing, yaitu: Masa penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang dan masa merdeka.
A.    Masa penjajahan Belanda
Berbicara sejarah partai politik di Indonesia, pada dasarnya harus di mulai dengan adanya organisasi kemasyarakatan yang memposisikan diri dalam perjuangan di bidang pendidikan dan pengajaran. Organisasi kemasyarakatan yang di maksud adalah Budi Utomo, yang di dirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dokter Wahidin Soedirohoesodo. Walaupun Budi Utomo di bentuk hanya sebagai organisasi sosial, namun jati dirinya melekat rasa perjuangan melawan kolonial Belanda. Oleh sebab itu, Budi Utomo Merupakan cikal bakal berdirinya partai politik di era pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman penjajahan Belanda, partai – partai politik tidak dapat hidup tenteram. Tiap partai yang bersuara menentang atau bergerak tegas, akan segera dilarang, pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai politik yang pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung dan dipimpin oleh Tiga Serangkai, yaitu Dr. Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara. Tujuan partai itu adalah Indonesia lepas dari Belanda. Partai itu hanya berusia 8 bulan karena ketiga pemimpin masing- masing dibuang ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda.[1]
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa. Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berasaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.
Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan Rakyat , gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Perlu di jelaskan bahwa partai politik pada zaman pra kemerdekaan pada umumnya bertujuan untuk meperjuangkan tercapainya cita-cita Indonesia ke depan.
Setelah Indische Partij di bubarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, maka pada tahun 1919 kembali di dirikannya National Indische Partij (NIP) yang kemudian di susul lahirnya partai-partai politik baru, antara lain :
1). Indische Social Democratische Vereniging (ISDV),
2). Partai Nasional Indonesia,
3). Partai Indonesia,
4), Partai Indonesia Raya,
5), Serekat Islam,
6), Partai Katolik, dan lain-lain.[2]
Partai-partai politik ini di dirikan bertujuan untuk melakukan pergerakan kearah kemerdekaan Indonesia. Mereka melihat kemerdekaan sebagai hak setiap orang dan sekelompok orang yang terlingkup di dalam suatu bangsa, tanpa perlu menghubungkannya dengan aliran yang hidup dalam masyarakat, maupun ajaran agama yang di anut.
Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islami) yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh.[3]
Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi dalam volksraad yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan dari Partai-Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut Komite Rakyat Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I terdapat Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Majelisul Islami A’laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik – partai politik yang pertama kali terbentuk di Indonesia.
B.     Masa pendudukan Jepang
Pemerintahan militer Jepang mula- mula melarang dan membubarkan partai- partai politik yang telah ada. Namun kemudian disetujui berdirinya partai politik yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di bawah pimpinan “ Empat Serangkai “, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, K.H Mansyur. Atas perintah pemerintah Jepang partai ini kemudian dibubarkan pada bulan Maret 1944.[4]
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang sosial. Selama Jepang berkuasa di Indonesia, kegiatan Partai Politik dilarang, kecuali untuk golongan Islam yang membentuk Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI).
C.    Masa Merdeka (mulai 1945)
Setelah merdeka, Indonesia menganut sistem Multi Partai sehingga terbentuk banyak sekali Partai Politik. Dan dipertimbangkan semula untuk memusatkan tenaga perjuangan rakyat hanya dalam satu partai saja. Pertimbangan itu kemudian dilepaskan pada tanggal 3 November 1945. Pemerintah RI mengeluarkan suatu maklumat yang antara lain:
A.    Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karna dengan adanya partai-partai itulah segala aliran paham yang ada dalam masyarakat dapat di pimpin kejalan yang teratur,
B.     Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum di langsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat dalam bulan januari 1946.[5]
Adanya Maklumat pemerintah tersebut, ternyata mendapat respon positif dari masyarakat dan elit politik pada saat itu, yang di tandai dengan berdirinya partai-partai politik, seperti :
1. Partai Sosialis,
2. Partai Buruh Indonesia,
3. Partai Nasional Indonesia (PNI),
4. Partai Komunis Indonesia (PKI),
5. Partai Rakyat Jelata atau Murba,
6. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Tentang Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 Nopember Tahun 1945 tersebut, Arbi Sanit berkomentar bahwa :
"Setelah keluarnya Maklumat pada tanggal 3 Nopember tahun 1945, dari pada organisasi-organisasi social dan partai politik yang sudah di bentuk, baik pada masa kekuasaan pemerintah colonial Belanda, maupun pada masa kekuasaan Jepang. Demikian pula dengan partai-partai politikyang baru sebagai respon atas keluarnya maklumat tersebut."
Menurut maklumat itu tugas partai – partai terutama ialah untuk menyalurkan aliran yang tumbuh dan hidup didalam masyarakat, sehingga dapat mempermudah pelaksanaan pemilu. Bedasarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 timbulah partai – partai politik di Indonesia laksana jamur di waktu hujan.
Pemilihan umum yang diadakan tahun 1955 diikuti oleh 28 partai politik dan organisasi politik. Masa ini disebut sebagai masa kejayaan partai politik. Tapi kemudian, sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Banyaknya partai politik dalam sistem pemerintahan parlementer telah mengakibatkan tidak stabilnya pemerintah, kabinet silih berganti dalam waktu yang relatif singkat. Banyak di antara partai – partai tersebut kemudian dilarang atau ditolak pengakuannya oleh pemerintah.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante yang akan membentuk UUD baru. Ada 260 kursi DPR dan 520 kursi ditambah 14 wakil golongan minoritas untuk konstituante yang diperebutkan. Pemilu yang dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dilangsungkan dalam dua tahap yaitu tahap pertama pada 29 September 1955 yang diikuti 29 partai untuk memilih anggota DPR dan tahap kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Lima besar pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante, Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante, Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante, dan Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante. Pemilu 1955 tidak dilanjutkan lima tahun berikutnya karena berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante serta pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 pada 4 Juni 1960 yang digantikan oleh DPR-Gotong Royong dan MPRS yang anggotanya diangkat Presiden Soekarno.[6]
Pada masa demokrasi terpimpin peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir September 1965).
D.    Masa Orde Baru
Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru (1965 – 1998), Partai Politik di Indonesia hanya berjumlah 3 partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia. Di masa Reformasi, Indonesia kembali menganut sistem multi partai dan partai-partai dapat bergerak lebih leluasa dibanding dengan masa Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 5 Januari 1973 NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI telah memfungsikan politiknya dalam satu partai politik yang bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik pada tanggal 10 Januari 1973 telah berfusi dalam satu wadah yang bernama Partai Demokrasi (PDI).[7]
Maka sesuai dengan Tap MPR No VIII / 1973 , pemilihan umum yang diselenggarakan selambat – lambatnya akhir tahun 1977 akan dikuti oleh 2 golongan politik PPP dan PDI dan ditambah 1 Golongan Karya (GOLKAR) yang dibentuk sejak tahun 1971. Dua partai politik dan golongan karya sebagai kesatuan politik pada masa Orde Baru yang mengikuti pemilu pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang didasarkan pada UU No. 3 Tahun 1975 yang diganti dengan UU Tahun 1985. Dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang ditanda tangani dengan pengunduran diri Presiden Soeharto 21 Mei 1998 yang karena diduga melakukan banyaknya Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN).
Adapun partai – partai yang diakui oleh pemerintah Indonesia dan yang ada pada saat pemilihan umum tahun1971:
a) Partai Nasional Indonesia (PNI)
b) Nahdatul Ulama (NU)
c) Partai Katolik
d) Partai Indonesia (PARTINDO)
e) Partai Murba
f) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
g) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
h) Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)
i) Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiah Islamiyah)
j) Partai Muslim Indonesia (PARMUSI)
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Partai Politik di Indonesia sejak masa merdeka adalah:
1.      Maklumat X Wakil Presiden Muhammad Hatta (1955)
2.      Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian
3.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai
4.      Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
5.      Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
6.      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
7.      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
8.      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (berlaku saat ini).
Selama masa Orde Baru, pemilu berlangsung sebanyak enam kali dari 1971 hingga 1997. Pemilu 1971 diseienggarakan pada 5 Juli 1971 dengan peserta 10 partai politik dan merupakan pemilu pertama setelah berdirinya orde baru. Pemilu ini bertujuan memilih anggota DPR serta anggota DPRD tingkat I Propinsi dan tingkat II Kabupaten/Kota se-Indonesia. Untuk Propinsi Irian Jaya, ini rnerupakan pemilu pertama bagi mereka setelah bergabung dengan Indonesia pada 1963. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, clan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai politik. Dan pada tahun 1977 hanya terdapat 3 organisasi kekuatan politik Indonesia dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1997. Pemilu 1977 diawali dengan fusi (penggabungan) partai-partai politik melalui UU Nomor 3 Tahun 1975 yang menghasilkan dua partai politik (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya. Selama pemilu Orde Baru berikutnya hingga 1998, pemilu hanya diikuti oleh tiga partai ini. Pemilu 1977 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei 1977 untuk memilih anggota DPR dan DPRD tingkat I da.n II. Pemilu ini dunenangkan oleh Golongan Karya. Pemilihan umum pada 1982, 1987, dan 1992 diselenggarakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD tingkat I dan IL Ketiga pemilu ini dimenangkan oleh Golongan Karya.[8]
Pemilu 1997 diselenggarakan pada 29 Mei 1997 untuk memilih anggota DPR dan DPRD tingkat I dan II. Pemilu ini dimenangkan oleh Golongan Karya. Pemilu ini merupakan pemilu terakhir pada masa Orde Baru. Setelah gelombang reformasi, Indonesia bersistem multi partai dan terus berlanjut hingga sekarang.
E.     Masa Reformasi
Perubahan yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan – kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai – partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai – partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis multidevresional yang sudah berjalan. Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar.
Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung. Yang dalam penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya dilaksanakan menurut Undang – Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa:
“ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik gabungan – gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksaaan pemilihan umum “.[9]
Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL ( Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil ) yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.
BAB III
KESIMPULAN
Di Indonesia sendiri, Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman Kolonial Belanda sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Partai-partai politik di dirikan bertujuan untuk melakukan pergerakan kearah kemerdekaan Indonesia. Mereka melihat kemerdekaan sebagai hak setiap orang dan sekelompok orang yang terlingkup di dalam suatu bangsa, tanpa perlu menghubungkannya dengan aliran yang hidup dalam masyarakat, maupun ajaran agama yang di anut.
Selama Jepang berkuasa di Indonesia, kegiatan Partai Politik dilarang, kecuali untuk golongan Islam yang membentuk Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Pada masa Demokrasi Terpimpin telah tampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir September 1965).
Pemilu 1997 diselenggarakan pada 29 Mei 1997 untuk memilih anggota DPR dan DPRD tingkat I dan II. Pemilu ini dimenangkan oleh Golongan Karya. Pemilu ini merupakan pemilu terakhir pada masa Orde Baru. Setelah gelombang reformasi, Indonesia bersistem multi partai dan terus berlanjut hingga sekarang. Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL ( Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil ) yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.

Rabu, 30 April 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI DI INDONESIA


SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI DI INDONESIA



Indonesia adalah negara yang strategis karena diapit dengan dua samudra dan dua benua. Sehingga penjajah semakin bersemangat untuk merebut negara ini. Seperti Belanda berkuasa selama sekitar 350 tahun di Indonesia , Jepang 3,5tahun dan masih banyak negara-negara penjajah lain. Selama dijajah, perekonomian Indonesia sangat terpuruk. Mari kita simak perkembangan sejarah perekonomian Indonesia mulai dari orde lama, orde baru, hingga reformasi saat ini.
 ORDE LAMA
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi&keuangan pada masa ini sangat buruk, karena disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi yang dikarenakan beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
-          Menteri keuangan Ir. Surachman melaksanakan Program Pinjaman Nasional dengan persetujuan BP-KNIP  pada bulan Juli 1946.
-          Usaha melawan blokade dengan diplomasi beras ke India
-          Mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika
-          Melawan blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Tujuan dilakukannya Konferensi Ekonomi Februari 1946 untuk memperoleh kesepakatan yang tetap dalam menanggulangi masalah  ekonomi yang mendesak, seperti :
-          Masalah produksi&distribusi sandang,pangan,papan, serta status dan administrasi perkebunan.
-          Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
-          Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
-          Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Karena pengusaha pribumi masih lemah&belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
-          Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun, Gunting Syarifuddin memotongan nilai uang (sanering) pada 20 Maret 1950.
-          Membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional program ini disebut Program Benteng

Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin& struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (pemerintah mengatur segalanya) sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959. Sistem ini diharapkan akan membawa kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Namun kebijakan ekonomi tersebut pada masa ini belum bisa memperbaiki keadaan ekonomi indonesia, seperti :
-          Menurunkan nilai uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan pada Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959.
-          Dibentuknya Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia dan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
-          Tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
-          Pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya sehingga memperparah tindakan moneter.
ORDE BARU
Stabilisasi politik menjadi prioritas utama pada masa ini. Karena pengusaha pribumi tidak bisa bersaing dengan pengusaha non pribumi, serta sistem etatisme pun tidak memperbaiki keadaan, maka Dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila yang merupakan campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, pasar tidak bisa menentukan sendiri dalam keadaan atau masalah tertentu.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang,seperti:
-          kebutuhan pokok
-          pendidikan dan kesehatan
-          pembagian pendapatan
-          kesempatan kerja
-          kesempatan berusaha
-          partisipasi wanita dan generasi muda
-          penyebaran pembangunan
-          peradilan
Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah,dampak positif ini diperoleh pada tahun 1984.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat, serta penumpukan utang luar negeri. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, juga tidak ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar